Subscribe:

Ads 468x60px

"Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah."

Jumat, 05 Februari 2010

Pedagogi Anak : Mengajar Anak ??

Bagaimana caranya mendidik atau mengajar anak-anak? Ya, belajarlah
dari caranya 'bapak'nya anak-anak mendidik mereka.

Inilah 5 bentuk/metode/cara Allah Bapa membina anak-anakNya.


1. Pendekatan positif.

Allah menghadapi anak-anakNya selalu dengan bersikap positif, dengan
menaruh kepercayaan baik, dengan kehendak baik. Bersikap positif dalam
arti menghargai lebih dahulu nilai-nilai positif yang ada dalam diri
anak-anak; menaruh harapan akan potensi mereka; peka terhadap
kemampuan-kemampuan mereka. Nah, hal-hal dasar yang mereka miliki
inilah yang kemudian dikembangkan, ditambahkan, digandakan, dibantu
pertumbuhannya.

 Hindarilah mengatakan atau memarahi anak-anak dengan
teriakan-teriakan :  kamu bodoh, otakmu kosong, kampungan, tolol dll.
Jangan membunuh potensi,  daya tumbuh dan benih-benih positif mereka.Tawarkan kerjasama, tawarkan  bantuan, utamakan pemberdayaan.
Pembina/katekis perlu memiliki 'cara pandang  Tuhan' ini dalam
mengajar dan membina anak-anak.

2. Contoh, bukan instruksi!

Yesus memang menggunakan banyak parabol/perumpamaan dalam
pengajaranNya, namun lebih banyak pula ia menggunakan contoh-contoh
kongkrit bahkan menunjukkan contoh-contoh tsb, mempraktekkan langsung
apa yang diajarkan. Ini sangat penting dalam bina iman anak. Mereka
tidak membutuhkan kuliah tentang Allah pengampun, Allah rahim, tetapi
mereka memerlukan bagaimana mengalami pengampunan, kerahiman itu,
entah lewat cara hidup/perilaku sang guru, entah lewat
contoh/kesaksian hidup yang amat kongkrit. Tuhan itu kongkrit, iman
itu kongkrit, bukan teori, bukan angan-angan, bukan impian.
Katekis/pembina yang tak mampu menjadi contoh, yang tak mampu
memberikan contoh adalah guru yang gagal dan tidak mampu mengajarkan
Tuhan/iman yang kongkrit. Ia hanya mampu menyuruh anak-anak menghafal
doktrin belaka tanpa mengalami kebenarannya. Untuk membantu anak-anak,
maka mereka juga diminta untuk mempraktekkan lewat tindakan kongkrit
di rumah, masyarakat di mana saja. Maka pengalaman dan kemampuan guru
memberdayakan praktek iman anak-anak sangatlah perlu juga.

3. Dengan kerahiman/hati bukan dengan otak/ratio belaka.

Tak dapat disangkal bahwa anak-anak itu bukan orang dewasa yang sudah
paham segala-galanya tetapi yang lagi bertumbuh, mencari dan mencoba.
Maka khilaf, salah, keliru adalah biasa dan wajar. Hal ini perlu
dihadapi dengan kesabaran, ketabahan dan terutama kasih dan kerahiman.
Jangan dibina dengan kekerasan, dengan ancaman, dengan pendekatan
logika belaka : salah : hukum; keliru : ganjaran. Pertumbuhan mereka
membutuhkan pendampingan yang penuh kasih, pemberian kesem patan,
dukungan dan kepercayaan apapun salah dan gagalnya mereka. Mereka
bukan hanya butuh diajari, dididik, dibina tetapi mereka juga terutama
butuh didengarkan, dimengerti, dipahami agar bisa dibantu secara lebih
tepat dan saksama. Kepercayaan, harapan, dukungan yang ikhlas, yang
penuh cinta akan membuat pertumbuhan mereka cepat, kreatif dan
terbuka.

4. Terarah pada keselamatan, kebaikan, kemajuan.

Betapa sabarnya Tuhan mendampingi umat manusia sangat nyata dalam
sejarah umat manusia. Namun Tuhan tak pernah mogok, tak pernah
menyerah dan selalu mengarahkan mereka pada kebaikan, pada
keselamatan, pada kemajuan, sedikit demi sedikit. Memang, bukan sukses
yang dipaksakan tetapi kemajuan yang diusahakan. Sebagaimana Allah,
setiap katekis/guru hendaknya memiliki sikap dasar 'saviour' :
menyelamatkan, membawa pada keselamatan, bukannya 'killer', penghukum
atau penghakim bahkan pemvonis pertumbuhan anak. Tugas kateki s adalah
menarik mereka, mengarahkan mereka pada 'keselamatan jiwa dan raganya'
sekarang dan nanti; bukan menjadi Tuhan yang setiap kali mengajar
mulai menghakimi : kamu memang anak setan, kamu memang penghuni neraka
ke tiga belas, dll. Katekis adalah 'co-creator', rekan sekerja Allah,
yang meneruskan karya ciptaan, karya hidup, karya pertumbuhan dan
pematangan dalam diri anak. Katekis menerbitkan mentari keselamatan,
bintang terang, harapan dan kehidupan di hati setiap anak. Setiap kali
pulang dari katekese/bina iman, anak-anak mengalami 'kebangkitan',
keselamatan, terang, harapan, kegembiraan hidup kristiani, bukan
ketakutan dan rencana untuk tidak datang lagi pada kesempatan katekese
berikutnya.

5. Menghargai anak sebagai : Homo faber, sapiens et religiosus

 Tuhan menciptakan manusia dengan tiga kwalitas dasar ini : setiap
manusia memiliki kemampuan/capacity sebagai 'faber' artinya tukang,
artinya yang mempunyai daya cipta, daya kreasi. Maka tugas
pembina/guru adalah membantu terus tumbuhnya daya dan kemampuan ini.

 Tiap manusia memiliki kemampuan dasar sebagai orang yang 'sapiens',
yang 'sapere [bahasa Latin] berarti 'tahu, mengetahui', dalam arti
bisa berkembang untuk tahu, mengetahui dan juga untuk mengungkapkan
kemampuan pengetahuannya. Tugas katekis/guru membantu daya pengetahuan
ini berkembang dan berfungsi. Anak-anak bukang nol, bukang hampa.

 Tiap manusia memiliki kemampuan dasar untuk ber-agama, ber-religi,
ber-Tuhan, untuk mengalami, mencari dan merasakan Tuhan. Religiositas
: ada kehausan akan yang ilahi, ada kebutuhan akan berserah, beriman,
berTuhan. Tiap katekis/guru/pendidik jangan sampai lupa aspek ini.
Jangan katakan anak-anak kafir atau tanpa perasaan... Mereka adalah
amat religius dalam arti telah memiliki dasar dan potensi amat kuat.
Maka, panggilan imamat, biara dan lain2, sangat tepat diperkenalkan
sejak dini.

 Belajarlah pada sang Bapa-nya anak-anak. Karena anda adalah rekan
kerjaNya maka Ia juga niscaya akan menjadi 'katekis agung'mu, 'guru
pribadi'mu yang takkan membiarkanmu. Jangan takut, Dia yang memanggil
dan mengutus kamu, Dia juga menyertai dan memampukan kamu!


( Sumber : mirifica.net )

0 komentar:

Posting Komentar

Biasakan budaya memberikan komentar, saran, atau kritik demi kemajuan bersama.

Kontak dan kirim naskah : bia.arnoldus@gmail.com